Tuli dan buta, keajaiban terbesarnya adalah keyakinannnya bahwa ia – dan semua orang cacat – seharusnya diperlakukan selayaknya manusia. Kisah mengenai Helen Keller telah menjadi legenda Amerika. Bahkan anak sekolah pun mengetahui kisah dari lepasnya Helen dari isolasi kebisuannya saat ia berada di dekat pompa air di rumah keluarganya, seperti yang didramatisir di atas panggung dan layar lebar dalam The Miracle Worker
Namun perjuangan Helen yang terbesar dimulai ketika kisah itu berakhir. Seperti yang kemudian disadarinya, tantangan terbesarnya bukan dalam belajar berkomunikasi; tantangan terbesarnya adalah perjuangan sepanjang hidupnya agar benar-benar diterima sebagai manusia, tidak peduli apa pun kekurangannya.
Helen Keller adalah bayi yang cepat tanggap dan periang. Orangtuanya, tuan tanah yang kaya di masa setelah Perang Sipil Alabama, menyombongkan tanda-tanda kecerdasan alaminya, bahkan mengaku kalau kata-kata pertama yang diucapkan Helen pada usia enam bulan adalah, “Apa kabar?”.
Namun setelah ia terserang demam skarlatina (scarlet fever) pada usia 18 bulan, orang tuanya khawatir atas perubahan pada dirinya. Cahaya yang terang menyakiti matanya, beberapa hari kemudian, ia tidak memberikan respons atas cahaya atau bentuk sama sekali. Tak lama setelah itu, jelaslah bahwa Helen tidak saja telah kehilangan penglihatan tetapi juga pendengarannya. Ketika ia makin dipenuhi oleh kesunyian, ia juga kehilangan kemampuan berbicaranya.
Helen tidak mampu mendengarkan kata-kata orangtuanya, baik lembut maupun keras, ia berubah menjadi orang liar. Karena tidak dapat mengungkapkan rasa frustrasinya, ia melampiaskan perasaannya itu lewat pukulan dan serangan yang tak terkendali jika ia tidak mendapatkan apa yang diinginkannya, dan ia makin menjadi-jadi karena orang tuanya makin enggan mendisiplinkannya. Para kerabat dekat tidak melihat alternative lain selain memasukkan gadis itu ke rumah sakit jiwa , tempat ia dirawat seolah-olah ia mengalami gangguan mental atau jiwa.
Masih saja, anak yang diam itu tidak menunjukkan kalau ia mengalami gangguan mental. Pada usia 5 tahun, ia telah menemukan system bahasa isyaratnya sendiri, ada enam gerakan termasuk “Ibu”, “Ayah”, “Roti”, dan “Permen”. Dengan keyakinan kalau Helen dapat dididik, ibunya membawanya menemui Alexander Graham Bell, yang saat itu menangani orang-oran tunarungu. Melalui serangkaian rekomendasi, lulusan muda dri Parkins School for the Blind (Sekolah untuk Orang Buta) di Boston, Annie Sullivan, diutus ke daerah selatan untuk menjadi guru privat Helen.
Dalam diri Helen, Annie melihat apa yang tidak dapat dilihat orang lain: seorang gadis kecil, sama seperti anak lainnya. Ia menolak memanjakan atau memaklumi sikap buruknya. Ia mendisiplinkan Helen dengan keras, bahkan mengajar Helen pada suatu siang agar duduk dan makan dengan garpu setelah sepanjang hidupnya mengambil makanan dari piring orang lain. Meskipun demikian Annie tidak selalu menang.; baru seminggu mendidik Helen, ia kehilangan dua gigi depannya.
Annie mengajari Helen bahasa isyarat, mengeja huruf di tangan gadis itu. Helen lapar akan stimulasi mental, Belajar dengan cepat apa yang dianggapnya permainan dan mengingat kombinasi-kombinasi huruf. Namun ia nampaknya tidak memahami kalau kombinasi ini menciptakan kata, dan kata-kata itu memiliki arti yang berhubungan dengan objek dan ide. Itu mirip seperti permainan Batu-Kertas-Gunting.
Baru ketika Annie memegang tangan Helen di bawah air yang mengalir dari pompa dan terus mengeja “water(air)”, Helen memahami kata itu. Helen akhirnya mengerti w-a-t-e-r adalah apa yang pernah disebutnya “wa-wa” sebelum ia terserang demam, dan w-a-t-e-r ini dingin, basah, benda yang muncrat ditangannya. Bahasa adalah pelariannya dari kegelapan , isoasi bisunya dan ia bersemangat mempelajari lebih banyak lagi kata. Di penghujung hari itu, ia telah mengerti 30 kata. Dalam tiga minggu berikutnya, ia telah menguasai 300 kata.
Teman, keluarga dan tetangga tertegun dengan transformasi tersebut dan berita tentang keberhasilan Helen langsung menyebar uas di negeri itu. Ketika ia mengunjungi kembali Graham Bell di tahun berikutnya, ia mengatakan, “Pencapaiannya tidak ada hubungan dengan pendidikan untuk tunarungu.” Perjalanan itu diikuti oleh kunjugan bersama Presiden Brover Cleveland. Pada usia 12 tahun, Helen telah menjadi orang terkenal di dunia, bahkan Mark Twain, John D. Rockefeller, Andrew Carnegie, Ratu Inggris Victoria, dan Ratu Olga dari Yunani menjadi pengagumnya.
Helen dielu-elukan karena pencapaiannya luar biasa, tetapi meskipun ia bekerja keras dan memiliki jiwa pejuang, beberapa orang masih melihatnya sebagai orang yang tidak berdaya dan lemah. Helen menolak label ini; sebenarnya ketidak mampuannya itu justru menjadi sumber kekuatannya: “Saya bersyukur pada Tuhan atas ketikdaksempurnaan ini, karena melalui hal itu, saya telah menemukan diri, pekerjaan dan Tuhan saya.” Ketika Annie menyadari bahwa Helen membutuhkan pendidikan lebih dari yang bisa diberikan oleh Annie, mereka memutuskan agar Helen melanjutkan ke Perkins School for the Blind, tempat Annie bersekolah selama beberapa musim dingin. Di tempat ini Helen tidak hanya menguasai pelajaran dalam bahasanya sendiri, tetapi juga dalam bahasa Perancis, Yunani dan Latin., Dan ketika mimpi untuk bersekolah di universitas memberikan secercah harapan , ia melanjutkan pendidikan SMA-nya di Cambridge agar ia dapat bersekolah di dekat sekolah impiannya, Radcliffe, universitas yang masih berhubungan dengan Harvard.
Disekolah Cambridge, Helen menenggelamkan dirinya dalam pelajaran dengan antusiasme yang sama bahkan usaha yang lebih keras, karena sekolah ini tidak memiliki fasilitas untuk orang tuli dan buta. Dengan Annie di sampingnya, Helen bekerja keras mempersiapkan diri untuk test masuk. Namun kepala sekolah khawatir kalau gadis itu tidak akan mampu memenuhi tantangan itu. Ia menyalahkan Annie karena mendorongnya terlalu keras dan tidak memikirkan kecacatan Helen dengan serius. Apa yang diperlukan Helen, dalam anggapannya, adalah untuk memperlambat langkahnya dan menurunkan harapannya sedikit. Ketika Annie protes, dengan kasar ia memisahkan mereka berdua dan menulis pada ibu Helen bahwa Annie dengan nekat membahayakan kesehatan putrinya. Nyonya Keller segera ke Cambrodge untuk menilai situasi tersebut dan mendengarkan permintaan Helen, menariknya dari sekolah itu dan mempertemukan kembali dengan Annie. Helen menjalankan sisa persiapan dengan belajar mandiri tetapi dengan kerja keras yang sama.
Helen merasa makin kecewa dengan perlakuan yang diterimnya di Radcliffe. Setelah lolos test masuk dan menerima khususnya nilai tinggi untuk test bahasa Latinnya, pimpinan penerimaan murid baru menemuinya secara pribadi. Sekali lagi, sekolah khawatir kalau kurikulum akan terlalu sulit untuk siswa buta dan tuli. Mereka tidak suka melihat Helen berkerja dua kali lebih keras dari siswa lain hanya untuk gagal. Mereka menolak Helen pada tahun 1899.
Helen merasa hancur tetapi tetap bertekad. Ketika Cornell University dan setelah University of Chicago menerimanya dan malah memberinya beasiswa, ia menolak dan mempersiapkan diri untuk menghadapi test masuk Radiffe selanjutnya. Tahun berikitnya mensyaratkan nilai yang tinggi agar dapat masuk, dan Helen diterima pada tahun 1900. Ia tidak hanya lulus dengan pujian tetapi juga menuliskan pengalamannya, The Story of My Life dan berusaha tidak pernah absen dari kelas. Buku tersebut mendapatkan pujian kritis dan menjadi buku laris dunia.
Helen menghabiskan sisa hidupnya dengan berjuang menerima tantangan seperti dihadapi oleh orang-orang normal lainnya, ia berkata dengan tegas, “Kehidupan adalah petualangan yang gagah berani atau bukan apa-apa.” Helen belajar mengendarai sepeda, mengendarai kuda dan berkemah. Ia memilih pendirian politik yang kontoversial, secara terbuka bergabung dalam usaha mendapatkan hak pilih bagi kaum perempuan, paham cinta damai dan sosialisme, meskipun ia disaraankan agar tetap diam.
Ketika mengalami kesulitan keuangan, ia dan Annie melakukan berbagai pekerjaan yang dianggap vulgar oleh kerabat Helen, dengan melakukan acara rutin tanya-jawab yang sangat popular kepada masyarakat Amerika seputar perjuangan Helen.
Ketika penglihatan Annie makin melemah untuk menjadi pengasuhnya, Helen kembali mendedikasikan dirinya untuk hak-hak para penyandang cacat. Ia menolak tawaran penerbit untuk menulis lebih banyak pengalamannya, dan malah bepergian keliling dunia, bertemu dengan Albert Einstein, Wiston Chuschill, Kaisar Jepang dan setiap presiden Amerika pada masanya. Melalui contoh pribadiny dan penampilannya di depan public, Helen berusaha lebih keras dari aktivis lainnya dalam mengubah persepsi, pendidikan dan perlakuan terhadap orang cacat di dunia.
Setelah kematian Annie, Helen menulis biografi sahabatnya itu, tetapi naskah yang hamper selesai hangus dalam kebakaran tahun 1946., Dalam pernyataan terakhir atas kegigihan Annie, Helen memulai lagi dari awal. Ia menerbitkan Teacher: Annie Sullivan Macy pada tahun 1955. Tiga belas tahun kemudian, Helen dimakamkan di samping sahabat sekaligus gurunya di National Cathedral Washington DC.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar