Kamis, 27 Oktober 2011

autisme


A.  Pengertian Autisme
       Autisme berasal dari kata auto yang berarti sendiri. Mengingat kalau kita perhatikan, maka kita akan mendapat kesan bahwa penyandang autis itu seolah-olah hidup di dunianya sendiri. Istilah autisme ini baru diperkenalkan sejak tahun 1943 oleh Leo Kanner. Autisme adalah suatu gangguan perkembangan yang kompleks menyangkut komunikasi, interaksi sosial, kognisi, dan aktivitas imajinasi. Gejalanya mulai tampak sebelum anak berusia 3 tahun. Bahkan pada autisme infatil gejala sudah ada sejak lahir. Seseorang baru dapat dikatakan termasuk kategori Autisme, bila ia memiliki hambatan perkembangan dalam tiga aspek yakni kualitas kemampuan interaksi sosial dan emosional, kualitas yang kurang dalam kemampuan komunikasi timbal balik, minat yang terbatas disertai gerakan-gerakan berulang tanpa tujuan. Gejala tersebut harus sudah terlihat sebelum usia 3 tahun. Mengingat bahwa tiga aspek gangguan perkembangan di atas terwujud dalam berbagai bentuk yang berbeda, maka dapat disimpulkan bahwa autisme sesungngguhnya adalah sekumpulan gejala klinis yang dilatarbelakangi berbagai faktor yang sangat bervariasi, bekaitan satu sama lain dan unik karena tidak sama untuk masing-masig kasus. Oleh karena itu pula, secara klinis, sering ditemukan gejala yang bercampur baur atau bertumpang tindih dengan gejala-gejala dari beberapa gangguan perkembangan yang lain. Tingkatan manifestasi gangguan juga sangat lebar, antara yang berat hingga yang ringan, kasusnya. Di satu sisi terdapat individu yang memiliki semua gejala dan di sisi lain adalah individu yang memiliki sedikit gejala. Perbedaan manifestasi gangguan-gangguan tersebut menjadikan setiap individu sangat unik. Mengingat tidak ada dua individu autis yang sama persis, bahkan yang kembar sekalipun. Itu sebabnya, sangat ditekankan, agar orang tua dan guru tidak memberikan layanan pendidikan yang seragam atau klasikal bagi sekelompok anak.
Adapun karakteristik (ciri khas} yang tampak pada perilaku anak autis adalah:
1.   Anak tampak seperti tuli, sulit berbicara, atau pernah berbicara, tetapi kemudian sirna.
2.   Anak tidak dapat mengikuti jalan pikiran orang lain kadang-kadang anak berperilaku yang menyakiti diri sendiri
3.   Anak tidak mempunyai empati dan tidak tahu apa reaksi orang lain atas perbuatannya
4.   Pemahaman anak sangat kurang, sehingga apa yang ia baca sukar dipahami. Misalnya dalam bercerita kembali dan soal berhitung yang menggunakan kalimat. 
5.   Kadangkala anak mempunyai daya ingat yang sangat kuat, seperti perkalian, kalender dan lagu-lagu
6.   Dalam belajar mereka lebih mudah memahami lewat gambar-gambar (visual learners)
7.   Anak belum dapat bersosialisasi dengan teman sekelasnya, seperti sukar bekerja sama dalam kelompok anak sebayanya, bermain peran dan sebagainya.
8.   Kesulitan mengekspresikan perasaannya, seperti: suka marah, mudah frustrasi bila tidak dimengerti dan dapat menimbulkan tantrum (ekspresi emosi dalam bentuk fisik atau marah yang tidak terkendali).
9.   Memperlihatkan perilaku stimulasi diri seperti bergoyang-goyang, mengepakkan tangan seperti burung, berputar-putar, mendekatkan mata ke pesawat TV.
Pada dasarnya tidak semua gejala tersebut ada pada individu autis. Gejalanya dapat beranekaragam sehingga tampak bahwa tidak ada anak autis yang benar-benar sama dalam semua tingkah lakunya. Sedangkan perbandingan laki-laki : perempuan adalah sekitar 4 : 1, dan terdapat pada semua lapisan masyarakat, etnik/ras, tingkat sosio-ekonomi serta geografi. Jika seorang anak memperlihatkan beberapa gejala di atas segera hubungi psikolog klinis/perkembangan, dokter ahli perkembangan anak, psikiater anak atau neuropediatris, pedagog khusus anak autis dan gangguan perkembangan yang akan membuat suatu assessment/pengkajian yang diikuti dengan pelaksanaan diagnosa. Jika terdiagnosa dini, maka anak autis dapat ditangani segera melalui proses pembelajaran yang terstruktur dan terpadu. Dengan demikian lebih terbuka peluang perubahan ke arah perilaku normal.

B.  Gambaran yang khas (unik) dari Anak Autis
Anak atau individu autis mempunyai gambaran unik tersendiri. Karakteristik tersebut meliputi kecenderungan:
(1)  Selektif berlebihan terhadap rangsangan (stimulation of overselectivity)
Yaitu kemampuan terbatas dalam menangkap isyarat yang berasal dari lingkungan.
(2)  Kurangnya motivasi
Tidak hanya karena mereka sering menarik diri dan asyik dengan dunianya sendiri, mereka juga cenderung tidak termotivasi untuk menjelajahi lingkungan baru, untuk memperluas lingkup perhatian mereka.
(3) Respons stimulatori diri
Jika diberi kesempatan, banyak penyandang autis yang menghabiskan sebagian waktu bangun/terjaganya pada aktivitas non produktif tersebut. Perilaku tersebut selain mengganggu integrasi sosial, juga mengganggu proses belajar. Oleh sebab itu, menurunkan perilaku stimulasi diri dan menggantikannya dengan respons yang lebih produktif sering merupakan prioritas tujuan pendidikan bagi penyandang autis.
(4) Respons unik terhadap imbalan (reinforcement) dan konsekuensi lainnya
Ini merupakan karakteristik dari individu autis, sehingga imbalan amat individualistik, kadang juga sukar diidentifikasi. Anak autis belajar paling efektif pada kondisi imbalan langsung. Supaya memperoleh imbalan langsung, seorang anak harus secara benar berespons pada suatu rangkaian perilaku. Sebagai contoh, jika anak sedang diajar membedakan warna, dengan membuka tutup dari kotak warna yang berisi makanan kesukaannya. Imbalan yang tak langsung, yaitu jika guru memberi perintah untuk membuka kotak berwarna tertentu kemudian memberikan anak imbalan makanan. Imbalan langsung juga merupakan dasar dari terjadinya stimulasi-diri (self-stimulatory), yaitu didapatnya imbalan dari penginderaan (sensori) terhadap stimulasi-diri tersebut. Misalnya umpan balik visual mulai dari memperhatikan gerakan tangannya, umpan balik gerakan dan suara yang berhubungan dengan hentakan/ketukan yang berulang-ulang. Intervensi meliputi mengidentifikasi dan menghilangkan imbalan penginderaan. Ada tiga alasan mengapa intervensi dini sangat penting, karena untuk mengoptimalkan tingkat perkembangan anak, untuk memberikan dukungan dan bantuan kepada keluarga, dan untuk memaksimalkan manfaat anak dan keluarga terhadap masyarakat sekitar. Adapun tingkat kemampuan belajar dan perkembangan manusia adalah paling cepat pada tahun-tahun pra sekolah. Sampai dengan usia 3 tahun, masa yang paling pesat pada tingkat perkembangan otak anak, setelah itu sampai usia 5 tahun tingkat perkembangan otak anak menurun walaupun masih cukup tinggi, di atas usia 5 tahun sampai dengan usia 7 tahun perkembangan sangat jauh menurun, hingga setelah 7 tahun tingkat perkembangan otak relatif lambat.

D.  Gambaran Perilaku Autistik
Perilaku adalah segala sesuatu yang orang kerjakan atau katakan, jadi perilaku adalah apa saja yang kita dapat lihat, rasakan atau dengar ketika seseorang melakukan kegiatan tertentu dan juga apa yang kita sendiri katakan dan kerjakan. Banyak perilaku autistik yang berbeda daripada perilaku normal, perbedaannya yaitu adanya perilaku yang berkelebihan (excessive), dan atau adanya perilaku yang berkekurangan (deficient) yang mungkin sampai pada tingkat yang hampir tidak ada. Behavioral excesse (Perilaku yang berkelebihan) misalnya mengamuk (tantrum) dan perilaku stimulasi diri. Jika intensitas dan frekuensi perilaku yang berlebihan itu muncul, maka perilaku-perilaku tersebut merupakan masalah di rumah, dan mengganggu ketika orang tua membawa anak ke tempat-tempat umum. Mengamuk (tantrum), sebagai contoh, mungkin terjadi bahkan jika kemauan kecil tidak dituruti pada beberapa anak. Meminta/menyuruh mereka berjalan dengan tenang di Supermarket, duduk di restoran, atau berdiri di barisan pada loket penjualan karcis mungkin menghasilkan jeritan, tendangan, gigitan dan cakaran. Pada kasus-kasus yang lebih ekstrim, tantrum mungkin terjadi menjadi sedemikian hebat sehingga perilaku-perilaku tersebut juga mengganggu proses belajar. Ekstrim lain dari perilaku yang berlebihan seperti yang digambarkan di atas, yaitu anak-anak autis mungkin menunjukkan berbagai kekurangan perilaku (behavioral deficit), seperti gambaran perilaku berikut ini:
(1)  Ciri umum mereka adalah gangguan bicara. Mereka mungkin non verbal, atau mungkin sedikit suara dan kata-kata. Anak-anak autistik lain mungkin ekolali (membeo) dan mengulang kata-kata yang mereka telah dengar (segera atau setelah beberapa waktu), tetapi mereka tidak menggunakan kata-kata tersebut untuk berkomunikasi. Sebagai contoh, pada ekolali segera, jika ditanya “Nama kamu siapa?” anak mungkin berespons dengan mengatakan “Nama kamu siapa?” bukannya memberikan jawaban yang benar. Pada ekolali lambat, seorang anak duduk pada meja makan mungkin mengulangi perintah-perintah gurunya kata per kata pada waktu sebelumnya di sekolah. 
(2)  Anak mungkin kurang sesuai perilaku sosialnya. Mereka mungkin bereaksi terhadap orang seakan mereka adalah benda. Sebagai contoh, seorang anak mungkin memanjat ke pangkuan ibu, tidak untuk kasih sayang tetapi supaya dapat meraih kaleng kue.
(3)  Anak mungkin menunjukkan defisit sensasi (indera) yang nyata sehingga kadang disangka tuli. Anak kadang berespons sedemikian normalnya, tetapi tidak sama sekali pada yang lainnya, pada pemeriksaan pendengaran tidak ditemukan gangguan.
(4)  Anak sering tidak bermain dengan benar. Sebagai contoh, bukannya mengendarai truk mainan tetapi membalikannya dan memutar roda berjam-jam.
(5)  Anak sering menunjukkan emosi yang tidak sesuai. Beberapa menjerit atau tertawa dengan sedikit atau tanpa provokasi. Lainnya hampir tidak menunjukkan perilaku emosional. Sebagai contoh, seorang anak mungkin hanya duduk dan memandang ke ruang kosong jika seseorang mencoba menggelitiknya. Dengan mengetahui perilaku ekses dan defisitnya, maka proses pembelajaran anak autisme melalui tatalaksana perilaku dengan tujuan memperbaiki perilaku ekses (berlebihan) dan perilaku deficit (kurang berperilaku) tersebut sangat mendesak untuk segera direalisasikan.

E.  Layanan Pendidikan bagi anak autis
Penanganan anak sungguh-sungguh dilakukan dengan memperhatikan pada kebutuhan khusus yang ada pada anak. Tujuan orang tua memasukkan anak ke jalur pendidikan reguler bisa untuk ‘academic mainstream’ (agar anak sepenuhnya bisa mengikuti kegiatan akademis) atau soscial mainstream (agar anak dapat mengikuti kegiatan sosialisasi bersama teman sebayanya).
Di Indonesia (khususnya di Bandung) belum tersedia berbagai fasilitas pendidikan khusus bagi anak autis usia sekolah, kecuali sekolah umum. Itu sebabnya orang tua berbondong-bondong memasukkan putra/putrinya ke sekolah umum yang bersedia memberikan kesempatan untuk menampung individu autis. Timbul masalah baru, dimana para guru lalu merasa kewalahan dalam menangani anak-anak ini karena tidak cukup hanya memberikan kesempatan.
Bagaimanapun, tanpa membekali para guru dengan keterampilan menangani anak-anak ini, usaha mereka memberikan kesempatan bagi anak autis di sekolah umum akan terasa lebih sebagai beban, daripada jalan keluar. Guru perlu dibantu untuk memahami, apa saja masalah yang dihadapi oleh anak-anak ini.
1.   Masalah Anak Autis di Sekolah
a. Perilaku
Adanya perilaku stereotip/khas pada anak autis sering kali membuat para guru dan anak lain di kelas bingung. Perilaku tersebut sangat tidak wajar dan cenderung mengalihkan perhatian. Selain masalah perilaku yang lebih berupa dorongan dari perkembangan neurobiologis, sering masalah perilaku merupakan manifestasi dari frustrasi anak (sulit memahami materi belajar, sulit berkomunikasi, sulit berinteraksi) atau reaksi anak terhadap stimulasi lingkungan yang tidak dapat mereka prediksi. Keadaan anak yang cenderung „peka secara berlebihan (suara, sentuhan, irama) terhadap stimulus lingkungan juga kerap membuat anak berperilaku kurang menyenangkan.

b. Pemahaman
Gangguan proses informasi dan koneksi, mau tidak mau seringkali menghambat anak autis mengikuti pelajaran di sekolah umum. Mereka lebih berespons terhadap stimulus visual, sehingga instruksi dan uraian verbal (apalagi yang panjang dalam bahasa rumit) akan sulit mereka pahami. Kecenderungan „mono pada diri mereka tidak memungkinkan mereka mengerjakan 2-3 hal sekaligus pada satu waktu yang sama (menatap sambil mendengarkan, mendengarkan sambil menulis, dan sebagainya.) Gaya berpikir mereka yang visual dalam bentuk film/gambar, membuat reaksi mereka lebih lambat daripada anak lain, dimana mereka memerluian jeda waktu sedikit lebih lama sebelum berespons. Mereka mengalami kesulitan memusatkan perhatian, terus menerus terdistraksi, apalagi di kelas yang sarat dengan .30 anak dengan suara yang sangat hiruk pikuk.

c. Komunikasi
Salah satu kesulitanan anak autis adalah dalam hal komunikasi, dimana mereka sulit berekspresi diri. Sebagian besar dari mereka, meskipun dapat berbicara, menggunakan kalimat pendek dengan kosakata yang sederhana. Seringkali mereka bisa mengerti orang lain tapi hanya bila orang tersebut berbicara langsung kepada mereka. Itu sebabnya kadang mereka tampak seakan tidak mendengar, padahal jelas-jelas kita memanggil mereka. Anak autis yang sulit berkata-kata/berbicara, seringkali mengungkapkan diri melalui perilaku. Semakin mereka tidak dipahami, maka mereka semakin frustrasi. Lingkungan yang kurang dapat melihat ciri ini secara obyektif akan memaksakan agar anak-anak tersebut berbicara dalam mengungkapkan diri, sehingga berakibat tekanan pada mereka yang lalu membuat mereka berperilaku negatif.
d. Interaksi
Anak autis juga bermasalah pada perkembangan keterampilan sosialnya, sulit berkomunikasi, tidak mnampu memahami aturan-aturan dalam pergaulan, sehingga biasanya tidak memiliki banyak teman. Minat mereka yang terbatas pada orang lain di sekitarnya, sedikit banyak membuat mereka lebih senang menyendiri atau sangat pemilih dalam bergaul, mereka hanya memiliki 1-2 teman yang dapat memberikan rasa aman kepada mereka, dan pada umumnya mengalami kesulitan beradaptasi dalam berbagai kelompok yang dibentuk secara acak/mendadak.

2.   Alternatif Penanganan
Dalam upaya memahami dan mengatasi masalah-masalahh anak-anak autis di sekolah, tidak mungkin melihat permasalahan secara terpisah dan terkotak-kotak. Setiap aspek saling berkaitan, dan biasanya saling tumpang tindih menjadi sebab dan atau akibat. Seperti: gangguan perilaku umumnya disebabkan oleh gangguan perkembangan neurologis, tapi bisa juga karena masalah frustrasi dalam berkomunikasi. Gangguan komunikasi, memang adalah masalah gangguan perkembangan neurobiologis, tapi kemudian bisa menjadi alasan bagi si anak untuk enggan bergaul. Sebaliknya, belum tentu juga bila anak sudah sangat terlatih dalam berkomunikasi, ia tidak memiliki masalah pemahaman atau proses informasi. Keterkaitan berbagai aspek tersebut di atas menyebabkan masalah seorang individu autis menjadi sangat kompleks, unik, spesifik, dan sering berubah-ubah. Pendidikan bagi anak autis, idealnya diberikan dalam bentuk sekelompok penanganan untuk membantu mereka mengatasi kebutuhan khususnya.
Di Amerika Serikat, banyak bentuk-bentuk pendidikan tersedia, antara lain (Siegel, 1996):
a. Individual therapy
Antara lain melalui penanganan di tempat terapi atau di rumah (home-based therapy dan kemudian homeschooling). Intervensi seperti ini merupakan dasar dari pendidikan individu autis. Melalui penanganan one-on-one, anak belajar berbagai konsep dasar dan belajar mengembangkan sikap mengikuti aturan yang ia perlukan untuk berbaur di masyarakat.
b. Designated Autistic Classes
Salah satu bentuk transisi dari penanganan individual ke bentuk kelas klasikal, dimana sekelompok anak yang semuanya autis, belajar bersama-sama mengikuti jenis instruksi yang khas. Anak-anak ini berada dalam kelompok yang kecil (1 - 3 anak), dan biasanya merupakan anak-anak yang masih kecil yang belum mampu imitasi dengan baik.
c. Ability Grouped Classes
Anak-anak yang sudah dapat melakukan imitasi, sudah tidak terlalu memerlukan penanganan one-on-one untuk meningkatkan kepatuhan, sudah ada respons terhadap pujian, dan ada minat terhadap alat permainan; memerlukan jenis lingkungan yang menyediakan teman sebaya yang secara sosial lebih baik meski juga memiliki masalah perkembangan bahasa.

d. Social skills Development and mixed Disability Classes
Kelas ini terdiri atas anak dengan kebutuhan khusus, tetapi tidak hanya anak autis. Biasanya anak autis berespons dengan baik bila dikelompokkan dengan anak-anak Down Syndrome yang cenderung memiliki ciri „hyper-social (ketertarikan berlebihan untuk membina hubungan sosial dengan orang lain). Ciri ini membuat mereka cenderung bertahan, memerintah, dan berlari-lari di sekitar anak autis sekedar untuk mendapatkan respons. Hal ini baik sekali bagi si anak autis.
















DAFTAR PUSTAKA

Hidayat dan Asjari, Musjafak. 1998. Bimbingan Anak Berkebutuhan Khusus. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi
http:/www.balipast.com/ balipastcetak/2004/12/12/apresiasi.htm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar